Lintas kisah – Politik uang telah lama menjadi masalah serius dalam pemilihan umum di Indonesia. Praktik ini melibatkan penyalahgunaan keuangan untuk mempengaruhi hasil pemilihan, yang secara tegas dilarang dan diatur oleh undang-undang.
Politik uang, atau money politic, merujuk pada pemberian atau janji uang kepada individu atau kelompok untuk memengaruhi proses pemilihan. Dalam konteks Pilkada (Pemilihan Kepala Daerah), baik calon maupun tim kampanye mereka dilarang keras untuk menyuap penyelenggara pemilihan atau pemilih.
“Baca juga: Melki Laka Lena, Menyongsong Kemenangan di Pilgub NTT 2024”
Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2015 tentang Pemilihan Gubernur, Bupati, dan Walikota menetapkan sanksi yang tegas bagi pelanggar politik uang:
Larangan politik uang tidak hanya bertujuan untuk menjaga integritas pemilihan. Tetapi juga untuk memastikan bahwa proses demokrasi berjalan adil dan transparan. Dengan memberlakukan sanksi yang tegas. Pemerintah berupaya menekan praktik korupsi dalam konteks politik dan memastikan keputusan pemilih didasarkan pada pemikiran yang bebas dan tanpa intervensi eksternal yang merugikan.
Masyarakat juga memiliki peran penting dalam mencegah politik uang dengan tidak menerima atau menawarkan suap dalam bentuk apapun selama proses pemilihan. Kesadaran akan konsekuensi hukum yang berat bagi pelanggar politik uang perlu ditingkatkan. Sehingga pemilihan umum dapat berlangsung dalam suasana yang sehat dan berintegritas.
Dengan demikian, kepatuhan terhadap larangan politik uang tidak hanya menjadi tanggung jawab hukum. Tetapi juga kewajiban moral bagi setiap individu yang berpartisipasi dalam proses demokrasi di Indonesia.